ABSTRACT
This research contented description and interpretation about Sumedang’s leadership in legend stories. The aim of this research is to describe leadership image of Sumedang’s forefather by world view of their collective subject. Approaches of this research are genetic structuralism with the focus to worldview and Gramscian’s approach to hegemonic practice.
Result of research indicated that leadership image of Sumedang’s forefather with worldview of collective subject, was imaged: (1) leaders who made consciousness of collective subject in symbolic stratum, (2) leader who memorable by his supernatural power influenced nature potency, and (3) leader who gave firmness values what useful for many people. Belief and consciousness of collective subject to their forefather leadership legends made by hegemonic practice of their leaders to created harmony and their power legitimate.
ABSTRAK
Penelitian ini berisi deskripsi dan interpretasi menyangkut kepemimpinan leluhur Sumedang dalam cerita-cerita legenda. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui citra kepemimpinan leluhur Sumedang melalui pandangan dunia subjek kolektifnya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah strukturalisme genetik yang berpusat pada pandangan dunia dan pendekatan Gramscian menyangkut praktik hegemonik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan leluhur Sumedang, melalui pandangan dunia subjek kolektifnya, dicitrakan sebagai berikut: (1) pemimpin yang membentuk kesadaran subjek kolektif melalui tataran simbolik, (2) pemimpin yang memorable karena kesaktiannya mempengaruhi potensi alam, dan (3) pemimpin yang mewariskan nilai-nilai keteguhan hati demi member banyak manfaat kepada banyak orang. Kesadaran dan kepercayaan subjek kolektif atas legenda-legenda kepemimpinan leluhurnya dihasilkan dari praktik hegemonic pemimpin dalam menciptakan harmonisasi dan legitimasi kekuasaannya.
KATA PENGANTAR
Laporan penelitian yang berjudul Kepemimpinan Leluhur Sumedang dalam Tradisi Lisan: Deskripsi dan Interpretasi ini merupakan bagian dari rangkaian penelitian yang didanai oleh DIPA PNBP Universitas Padjadjaran melalui SK No 206/J06.14/LP/PL/2006. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada ketua Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran yaitu Prof. Dr. Johan S. Mashur, dr., SpPD-KE, SpKN. Terima kasih peneliti sampaikan pula kepada Dr. Dadang Suganda selaku Dekan Fakultas Sastra, Tim Evaluator Penelitian Fakultas Sastra, dan semua pihak yang telah membantu dalam seluruh rangkaian kegiatan penelitian ini.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan kekhasan khazanah budaya Sunda terutama menyangkut kepemimpinan leluhurnya yang dibentuk secara kulural melalui kepercayaan asyarakat pendukungnya.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tradisi lisan yang memuat sejumlah cerita rakyat pada masa kelahiran dan perkembangannya menempati fungsi bukan sebagai hiburan belaka, melainkan sebagai media informasi tentang sejumlah kesan atau pandangan subjek kolektif terhadap sesuatu yang penting, khas, atau mendesak untuk dituangkan dalam wujud karya tersebut. Tentunya pada momen yang tepat karya-karya yang dimaksud dapat terwujud dan berkembang menjadi sebuah wacana milik bersama.
Bentuk rumor yang terus disebarkan kepada lingkungan sekitar dan diwariskan terus-menerus kepada generasi yang lebih muda pada akhirnya menjadi sebuah berita dalam wujud cerita yang kemungkinan besar dipercaya oleh masyarakat pendukung tradisi tersebut. Kepercayaan yang terbentuk setidaknya berhubungan erat dengan isi cerita yang berkembang dalam lingkungan subjek kolektif yang dimaksud. Isi cerita yang merepresentasikan keadaan alam dan masyarakatnya, menempati peluang yang cukup besar untuk dipercaya oleh masyarakat pendukungnya. Isi cerita yang dimaksud di antaranya bekisar tentang kepercayaan terhadap gejala alam, asal usul tempat, dan asal usul leluhurnya.
Dari sejumlah kepercayaan di atas, tipikal leluhur dari anggota kolektif tradisi lisan tersebut menarik untuk diteliti. Sosok kepemimpinan leluhur selalu mendapat tempat terhormat untuk diabadikan melalui cerita rakyatnya.
Kewibawaan dan kesaktian leluhur adakalanya dilegitimasi oleh sejumlah bukti fisik yang dipercaya, seperti tempat pangcalikan, benda keramat yang diwariskan, hingga kepada sejumlah akibat fisik yang harus ditanggung masyarakat karena kesaktian leluhur yang saciduh metu saucap nyata “kata bertuah dan sakti”.
Jika dihubungkan pada kondisi di atas, Sumedang merupakan daerah yang memiliki sejumlah leluhur yang dilegitimasi ke dalam citra yang begitu agung, berwibawa, dan berprestasi dalam tiap jamannya. Sebut saja, di antaranya kewibawaan Tajimalela, leluhur yang menjadi cikal bakal masyarakat Sumedang Larang, Lembu Agung dan Gajah Agung, Embah Jaya Perkosa, Pangeran Mekah, hingga Pangeran Kornel. Tentunya figur-figur kepemimpinan tokoh-tokoh tersebut menjadi tonggak perkembangan Sumedang kini melalui moto Medal Ingsun yang secara esensi mengandung makna eksis dan berjaya.
Kewibawaan dan kesaktian leluhur adakalanya dilegitimasi oleh sejumlah bukti fisik yang dipercaya, seperti tempat pangcalikan, benda keramat yang diwariskan, hingga kepada sejumlah akibat fisik yang harus ditanggung masyarakat karena kesaktian leluhur yang saciduh metu saucap nyata “kata bertuah dan sakti”.
Jika dihubungkan pada kondisi di atas, Sumedang merupakan daerah yang memiliki sejumlah leluhur yang dilegitimasi ke dalam citra yang begitu agung, berwibawa, dan berprestasi dalam tiap jamannya. Sebut saja, di antaranya kewibawaan Tajimalela, leluhur yang menjadi cikal bakal masyarakat Sumedang Larang, Lembu Agung dan Gajah Agung, Embah Jaya Perkosa, Pangeran Mekah, hingga Pangeran Kornel. Tentunya figur-figur kepemimpinan tokoh-tokoh tersebut menjadi tonggak perkembangan Sumedang kini melalui moto Medal Ingsun yang secara esensi mengandung makna eksis dan berjaya.
Mengacu kepada sejumlah fakta cerita berbentuk legenda yang bias dijangkau, Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja cukup mewakili daerah di Sumedang lainnya dalam hal peluang diperolehnya data berbentuk legenda yang mengindIkasikan adanya gambaran kepemimpinan leluhur Sumedang.
Mengingat bentuk legenda merupakan karya yang dipercaya kebenarannya sekaligus dari sisi keilmuan tetap dipahami sebagai karya lisan yang muatanmuatan di dalamnya bisa saja mengindikasikan adanya kepentingan dan andil tertentu dari sang kreator bagi anggota kolektif pendukung cerita-cerita yang dimaksud, maka perlu dilakukan pula interpretasi atas sejumlah data dalam penelitian ini. Interpretasi yang dimaksud diarahkan kepada wujud pemahaman atas teks untuk mengetahui dan menghubungkan elemen-elemen yang tersirat di dalam cerita-cerita legenda yang dijadikan data dalam penelitian ini menyangkut kepemimpinan leluhur Sumedang.
2.2 Perumusan Masalah
Merujuk data yang akan dijangkau peneliti menyangkut kepemimpinan leluhur Sumedang melalui legenda, penulis menemukan tiga masalah pokoh yang bertalian dengan data berbentuk legenda yang dimaksud. Jika muatan-muatan teks dalam legenda lahir dan dipengaruhi oleh hubungan pemimpin dan yang dipimpinnya, maka:
(1) Unsur-unsur cerita apa saja (berdasarkan konsep, tokoh, dan perbuatan dalam peristiwa penting) yang menunjukkan anasir-anasir kepemimpinan;
(2) masalah pokok kepemimpinan apa saja muncul dalam cerita; dan
(3) bagaimana cerita legenda yang memuat tentang kepemimpinan leluhur ditempatkan di lingkungan masyarakat pendukungnya.
2.3. Tinjauan Pustaka
Teori hegemoni yang dikemukakan Gramsci merupakan bagian yang relevan dalam menelusuri bentuk kultural ideologis menyangkut kepemimpinan. Hegemoni memperkenalkan dimensi kepemimpinan moral dan intelektual. Hegemoni mendefinisikan sifat kompleks dari hubungan antara massa rakyat dengan kelompok-kelompok pemimpin masyarakat; suatu hubungan tidak hanyak politis tetapi juga mengarah kepada gagasan dan kesadaran.
Gagasan atau kepercayaan yang tersebar diyakini dapat mempengaruhi cara pandang seseorang tentang dunia. Folklor menjadi salah satu bagian dari cara penyebaran gagasangagasan (Faruk, 1994: 61-70). Hegemoni berarti suatu situasi di mana sebuah blok historis faksi-faksi kelas yang berkuasa menggunakan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinasinya dengan cara mengombinasikan kekuatan dengan persetujuan sadar.
Dalam analisis Gramsci, ideologi dipahami sebagai gagasan makna dan praktik-praktik yang meski tampak seperti kebenarankebenaran universal, sebenarnya merupakan peta-peta makna yang menyokong kekuasaan kelompok-kelompok sosial tertentu. Dalam paham ini, ideology bukanlah sesuatu yang terpisah dari aktivitas-aktivitas praktis kehidupan, melainkan fenomena material yang memiliki akar dalam kondisi sehari-hari.
Ideologi menyediakan tingkah laku praktis dan perilaku-perilaku moral yang menunjukkan kesesuaian antara konsepsi tentang dunia dan norma perilaku yang harus dijalankannya (Barker, 2005: 79).
Konsep pandangan dunia yang dikemukakan Goldmann menjadi bagian penting untuk menunjukkan ideologi teks karya sastra menyangkut sejumlah kesadaran subjek kolektif atas pemimpin dan kepemimpinannya. Godlman (Faruk, 1994: 15-16) menyatakan bahwa pandangan dunia merupakan mediasi antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat. Sebagai suatu kesadaran kolektif, pandangan dunia ini berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomik yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya. Pandangan dunia tidak lahir dengan tiba-tiba tetapi melalui transformasi metalitas yang yama dan perlahan-lahan.
Beranjak dari tinjauan teoritis tersebut, legenda menunjukkan sisi potensial untuk menunjukkan tipe kepemimpinan sebagaimana teks karya sastra tersebut menunjukkan sekaligus menyimpan ideologi dengan peta-peta maknanya yang menyokong kekuasaan kelompok-kelompok sosial tertentu. Legenda pun merupakan bagian yang tidak terpisah dari kehidupan masyarakat pendukungnya dalam menunjukkan kehadiran pemimpin di tengah-tengah masyarakatnya, masalah pokok kepemimpinan, dan proyeksi kehidupan masyarakat sesungguhnya.
2.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian berdasarkan permasalah yang muncul adalah:
1. mendeskripsikan unsur-unsur cerita (melalui konsep, tokoh, perbuatan dalam peristiwa penting) yang menunjukkan anasir-anasir kehadiran pemimpin di tengah-tengah rakyatnya
2. mendeskripsikan masalah pokok kepemimpinan;
3. mendeskripsikan dan menginterpretasi karya sebagai proyeksi sisi kehidupan masyarakat pendukungnya.
3. mendeskripsikan dan menginterpretasi karya sebagai proyeksi sisi kehidupan masyarakat pendukungnya.
2.5 Konstribusi Penelitian
a. penelitian ini sebagai upaya ilmiah dalam rangka memahami citra kepemimpinan leluhur dalam cerita legenda
b. hasil dari butir (a) diharapkan dapat mengukuhkan teori folklore menyangkut terutama perihal fungsi tradisi lisan sebagai proyeksi sisi kehidupan masayarakat pendukungnya
c. pendokumentasian sastra lisan guna mengetahui pemetaan dan penyebaran sastra lisan, dan kebertahannya hingga menembus peradaban modern.
2.6 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif interpretatif dengan pendekatan hegemoni Gramscian. Melalui metode ini, peta-peta makna yang mengindikasikan adanya praktik-praktik kekuasaan dan problem kepemimpinan yang terkandung dalam teks legenda dapat ditelusuri dan sekaligus dihubungkan dengan lingkungan masyarakat pendukungnya.
Secara metodologi, pendekatan Gramscian mendasarkan studinya pada asumsi dasar bahwa supremasi suatu kelompok sosial menyatakan dirinya dalam dua cara, yaitu sebagai dominasi dan sebagai kepemimpinan moral dan intelektual. Cara yang demikian mengarah kepada praktik hegemoni.
Hegemoni berusaha menunjukkan suatu keseimbangan kompromis antar interes-interes kelompok harus dibentuk dan kelompok pemimpin harus membuat pengorbanan-pengorbanan tertentu. Akan tetapi pengorbanan yang dimaksud tidak dapat menyentuh yang esensial, yaitu interes ekonomi sebagai inti aktivitas ekonomi.
Sejalan dengan kenyataan tersebut, konsep pandangan dunia yang dikemukakan Goldmann menjadi bagian penting secara metodologis dalam penelitian ini. Pandangan dunia yang dimaksud mengarah kepada bentuk kesadaran kolektif yang dibangun melalui sejumlah kesepakatan atas aspirasi, gagasan, perasaan-perasaan antar anggota kolektif. Pandangan dunia tersebut terbentuk secara kultural dan berhubungan erat dengan bagaimana anggota kolektif mengikatkan diri kepada pemimpinannya dalam menjalankan aktivitas sosialnya.
Dengan demikian, metode penelitian ini lebih mengarah kepada metode dialektika. Metode ini berusaha memahami teks karya sastra sebagai bagian dari struktur sekaligus berusaha memahami makna itu dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepemimpinan dalam Perspektif Studi Budaya Secara Umum
Kepemimpinan dalam wacana budaya mengarah kepada pembicaraan menyangkut pemimpin, masyarakat yang dimimpinnya, kemampuan memimpin, dan masalah yang bersebab akibat dengan pelaksanaan kerja pemimpinan. Capra (2004: 137-138) menyebutkan bahwa gagasan tradisional mengenai pemimpin adalah orang yang dapat mempertahankan suatu visi, menyatakannya dengan jelas, dan mengkomunikasikannya dengan penuh semangat serta karisma.
Pemimpin juga adalah orang yang tindakan-tindakannya mewujudkan nilai-nilai tertentu yang menjadi patokan bagi orang lain, kemampuan untuk memiliki suatu visi yang jelas akan suatu bentuk atau keadaan ideal adalah suatu sifat pemimpin tradisional.
Kepemimpinan yang satunya lagi menunjukkan adanya andil pembaharuan. Pembaharuan yang dimaksud berarti menciptakan kondisi, bukan memberi arahan, dan menggunakan otoritas untuk memberi kuasa bagi yang lain. Kedua macam kepemimpinan berhubungan dengan kreativitas. Menjadi pemimpin berarti menciptakan suatu visi. Menjadi pemimpin juga berarti memungkinkan masyarakat secara keseluruhan untuk menciptakan sesuatu yang baru.
Visi adalah pusat keberhasilan apa pun. Semua manusia perlu merasa bahwa tindakan-tindakan mereka bermakna dan ditujukan untuk cita-cita tertentu. Suatu visi adalah citra mental bagi sesuatu yang ingin kita capai, tetapi visi jauh lebih kompleks daripada tujuan-tujuan konkret dan cenderung tidak bias diekspresikan secara biasa dan rasional.
Kapan saja kita perlu mengekspresikan citra yang kompleks dan halus, kita menggunakan metaphor, hingga tidaklah mengagetkan bila metaphor berperan penting dalam merumuskan visi. Seringkali visi tetap tidak jelas bila kita mencoba menjelaskannya tetapi tiba-tiba menjadi jelas bila kita menemukan metaphor yang tepat. Kemampuan untuk mengekspresikan suatu visi dalam metaphor menjelaskannya sedemikian rupa sehingga dipahami dan diterima oleh semuanya adalah kualitas pokok kepemimpinan.
Sehubungan dengan pernyataan di atas, cerita prosa rakyat yang dapat bertindak sebagai metaphor menjadi salah satu jembatan yang dapat digunakan sebagai bahan dalam melacak kepemimpinan dengan bermacam-macam elemen yang terhubung ke dalamnya.
2.2 Kepemimpinan: Ideologi dan Hegemoni
Dalam analisis Gramscian, kepemimpinan yang menjalankan praktik hegemoni menunjukkan adanya penggunaan otoritas sosial dari seorang pemimpin atas kelas-kelas subordinatnya dengan cara mengombinasikan kekuatan dengan persetujuan kesadaran (Barker, 2005: 79). Adapun ideologi, sebagaimana Goldmann pahami melalui konsep pandangan dunianya, dipahami sebagai gagasan, makna, dan praktik-praktik peta-peta makna yang menyokong kekuasaan kelompok sosial tertentu. Gramsci ( Barker, 2005: 79) menyatakan bahwa Ideologi pun menyediakan tata tingkah laku praktis dan perilaku-perilaku moral sebagai kesatuan yang diyakini antara konsepsi tertentu tentang dunia dengan norma perilaku yang sesuai. Barker (2005: 80) menyatakan bahwa meski ideology dapat berbentuk gagasan-gagasan yang koheren, ideologi lebih sering tampil sebagai makna-makna awam yang terfragmentasi, yang secara inheren ada dalam berbagai representasi.
Goldmann melalui konsep pandangan dunia, mempercayai adanya homologi antara struktur karya sastra dengan struktur masarakat. Hubungan keduanya dimediasi oleh pandangan dunia. Pandangan dunia merupakan istilah yang merujuk kepada kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasiaspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain. (Faruk, 1994: 15-16).
Kesadaran subjek kolektif menyangkut pandangan dunia merupakan transformasi mentalitas yang lama dan perlahan-lahan. Pandangan dunia merupakan kedadaran yang mungkin tidak setiap orangf dapat memahaminya. Dengan demikian Goldmann membedakan kesadaran menjadi kesadaran yang mungkin dan kesadaran yang nyata. Kesadaran nyata adalah kesadaran yang dimiliki oleh individu-individu yang ada di masyarakat. Kesadaran mungkin adalah kesadaran yang menyatakan suatu kecenderungan kelompok ke arah suatu koherensi menyeluruh, perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam semesta (Faruk, 1994: 15-16).
2.3 Kesadaran dan Pemahaman Realitas dalam Legenda
Legenda merupakan teks sastra yang mengindikasikan adanya aktivitas manusia sehubungan dengan pemahamannya terhadap realitas. Legenda yang menyangkut pemimpin dan kepemimpinan atas masyarakat tertentu, misalnya, merupakan salah satu representasi yang bisa dirujukkan ke dalam potensi anggota kolektif di dalamnya menunjukkan pemahamannya atas realitas kepemimpinan yang hadir dalam lingkungannya.
Bascom (Danandjaja, 1994: 50) menyebutkan bahwa legenda adalah prosa rakyat yang dianggap pernah benar-benar terjadi. Dundes (Danandjaja, 1994: 66- 67) menyatatakan bahwa jumlah legenda di setiap kebudayaan jauh lebih banyak daripada mite dan dongeng. Hal ini disebabkan legenda mempunyai tipe dasar yang tidak terbatas, terutama legenda setempat. Selain itu selalu ada pertambahan persediaan legenda di dunia karena setiap jaman akan menyumbangkan legenda-legenda baru apabila seorang tokoh, tempat, atau kejadian dianggap berharga oleh kolektifnya untuk diabadikan menjadi legenda.
Persediaan yang dimaksud mengindikasikan adanya kepentingan anggota kolektif untuk mengabadikan sesuatu yang dipahaminya atas realita berdasarkan kesadaran yang dimilikinya, yaitu kedasaran yang terbentuk secara cultural, termasuk di dalamnya menyangkut kesadaran atas pemimpinnya.
Takwin (2005: 228-230) menyatakan bahwa kesadaran memahami dunia dapat dicapai dengan menggunakan rasionalitas. Pengertian rasionalitas tidak terbatas pada pengertian jenis-jenis rasionalitas tertentu. Rasionalitas di sini memiliki pengertian seluruh aktivitas manusia yang diarahkan pada usaha memahami realitas.
Metode kerja kesadaran dapat dijelaskan melalui hermeneutika. Hermeneutika yang dimaksud berusaha memadukan pemahaman dan penjelasan melalui beragam sudut pandang. Yang dimungkinkan untuk memahami realitas. Sejumlah aspek yang digunakan Brnstein dalam menafsirkan realitas adalah: (1) peran tradisi dalam pemahaman manusia, (2) pengakuan bahwa perbedaan tradisi dan bentuk-bentuk kehidupan dapat dikomunikasikan dan dipertemukan, (3) kesadaran terhadap adanya hubungan internal antara pemahaman, penafsiran, dan peran esensial dari keputusan (tujuan-tujuan) praktis, dan (4) dialog dialektis untuk menjangkau pemahaman yang lebih kritis.
Sejalan dengan pendapat di atas, legenda ditempatkan sebagai realitas teks atas realitas yang dipahami subjek kolektif. Melalui legenda, dapat diketahui wujud pemahaman subjek kolektif menyangkut kepemimpinan leluhurnya. Dalam kepentingan penelitian ini, rasionalitas diarahkan kepada sejumlah pandangan dunia dan perilaku anggota kolektif yang terhubung kepada realitas yang dimaksud.
BAB III METODOLOGI
3.1 Metode Dialektika dalam Orientasi Teoritis
Metode ini sebagai pengejawantahan dari pendekatan strukturalisme genetik menyangkut pandangan dunia dan pendekatan gramscian menyangkut hegemoni. Metode dialektika memperhitungkan koherensi struktural yang bermula dan berakhir pada teks sastra. Prinsip dasar metode dialektika adalah mengkonkritkan fakta-fakta kemanusiaan yang abstrak dengan jalam mengintergrasikannya ke dalam keseluruhan. Metode ini mengembangkan dua pasangan konsep, yaitu “keseluruhan-bagian” dan “pemahaman-penjelasan”.
Konsep pertama beranjak dari pemahaman bahwa setiap fakta atau gagasan individual mempunyai arti hanya jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan hanya dapat dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-fakta parsial atau yang tidak menyeluruh yang membangun keseluruhan (Faruk, 1994: 19-20).
Konsep kedua, pemahaman-penjelasan, mengarah kepada bagaimana identitas bagian dipahami dan bagaimana makna diperoleh melalui usaha menghubungkan makna yang diperoleh dengan konteks keseluruhan yang lebih luas. Pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek yang dipelajari sedangkan penjelasan adalah usaha menggabungkannya ke dalam struktur yang lebih besar.
Dengan kata lain, pemahaman adalah usaha untuk mengerti identitas bagian, sedangkan penjelasan adalah usaha untukmengerti makna bagian itu dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar (Faruk, 1994: 21).
3.2 Metode Dialektika dalam Orientasi Praktik
Sejalan dengan orientasi teoritisnya, metode dialektik mengarahkan cara kerja penelaahan karya. Dalam penelitian ini yang mengarahkan kajiannya kepada masalah kepemimpinan dalam karya sastra berbentuk legenda, metode dialektik yang dijalankan menyangkut: “keseluruhan-bagian” dan “pemahamanpenjelasan”:
a. keseluruhan-bagian, secara struktur dijajaki hubungan keseluruhan-bagian dengan mempertimbangkan unsur-unsur intrinsik karya kemudian dihubungkan dengan struktur di luar karya sastra yang bertindak sebagai bagian yang turut membentuk koherensi struktur tersebut secara menyeluruh; hubungan yang dimaksud mengarah kepada bagaimana pemahaman realita anggota-anggota kolektif yang diceritakan dalam legenda tentang kepemimpinan menjadi bagian dari keseluruhan struktur yang lebih luas menyangkut subjek kolektif, pemimpin, dan kelompok-kelompok sosialnya.
b. Pemahaman-penjelasan, mengarah kepada penelaahan makna atas hubungan-hubungan struktur sebagaimana yang dipahami pada langkah pertama, kemudian mempertalikan makna tersebut dengan sejumlah gagasan atau pandangan dunia subjek kolektif yang terhimpun ke dala satu gagasan yang utuh.
3.3. Rincian Teknik Penelaahan
Berdasarkan tujuan yang akan dicapai dalam menelitian ini, rincian teknik penelaahan yang secara proposional harus dilakukan adalah:
a. mendeskripsikan unsur-unsur cerita yang menunjukkan anasir-anasir kehadiran pemimpin di tengah-tengah rakyatnya; pada tahap ini, penelaahan dipusatkan pada peristiwa-peristiwa yang memunculkan tokoh yang bertindak sebagai pemimpin (dalam pengertian luas) dan interaksinya dengan anggota kolektif di dalamnya.
b. mendeskripsikan masalah pokok kepemimpinan; pada tahap ini penelaahan dipusatkan pada peristiwa-peristiwa penting yang memunculkan konflik dengan indikasi adanya pandangan dunia anggota kolektif yang berhubungan dengan pemimpinnya dalam hal praktik kekuasaan;
c. mendeskripsikan dan menginterpretasi pandangan dunia yang melingkupi cerita legenda yang dijadikan sample, menginterpretasi praktik hegemoni yang muncul dalam sample, dan menjajaki hubungan pandangan dunia, dan praktik hegenomi denga jalan menghubungkannya dengan anasir-anasir proyeksi sisi kehidupan yang dijalankan subjek kolektif pada masanya.
BAB IV KEPEMIMPINAN LELUHUR SUMEDANG DALAM TRADISI LISAN: DESKRIPSI DAN INTERPRETASI
Berdasarkan lima sampel data yang mewakili sejumlah citra kepemimpinan leluhur Sumedang yang muncul dalam tradisi lisan berbentuk legenda, secara intrinsik diperoleh fakta dalam cerita adanya keterikatan anggota kolektif, masyarakat Kecamatan Darmaraja Sumedang, terhadap pemimpinnya. Pemimpin yang direpresentasikan dalam sample data tidak saja menyangkut pemimpin yang memiliki hak otorita dalam mengatur wilayah pemerintahannya, tetapi beberapa tokoh yang dicitrakan sebagai orang yang tindakan-tindakannya mewujudkan nilai-nilai tertentu yang menjadi patokan bagi orang lain, kemampuan untuk memiliki suatu visi yang jelas akan suatu bentuk atau keadaan ideal.
Pandangan dunia secara potensial menunjukkan bagaimana subjek kolektif menempatkan pemimpinnya dalam kesadaran menjalankan aktivitas hidupnya di bawah kepemimpinan seorang tokoh. Pandangan dunia tersebut dibentuk dan ditumbuhkembangkan melalui praktik hegemonik seorang pemimpin di dalamnya.
Adapun hubungan strukturasi karya sastra berbentuk legenda dengan struktur yang lebih luasnya dapat ditelusuri melalui pemahaman atas fungsi dan kedudukan legenda bagi masyarakat pendukungnya. Berikut ini diuraikan beberapa subpokok bahasan menyangkut kepemimpinan dan subjek kolektifnya dalam perspektif sosiologis.
4.1 Representasi Kepemimpinan
Tokoh pemimpin yang secara eksplisit dimunculkan dalam cerita, yaitu (1) Prabu Tajimalela, (2) Gajah Agung, (3) Lembu Agung, (4) Embah Haji Wangkelang, (5) Buyut Anggrok, (6) Kangjeng Dalem Soerja Atmadja, (7) Embah Gabug, (8) Raja Subangkala, (9) Raja Bugang geureung, dan (10) Haji Putih Jaga Riksa. Citra-citra kepemimpinan yang melekat kepada tokoh-tokoh tersebut adalah adil dan bijaksana, bersahabat, penuh wibawa dan sakti, melindungi; sedangkan sebagian lagi menunjukkan citra penuh konflik, petualang cinta, dan serakah.
Pada cerita Lembu Agung jeung Gajah Agung, tokoh pemimpin yang bernama Prabu Tajimalela merepresentasikan figur pemimpin yang adil bijaksana. Secara potensial teks menunjukkan bahwa Prabu Tajimalela dalam melakukan penurunan tahta kerajaannya kepada kedua anaknya dilakukan dengan caranya sendiri. Ia berusaha menguji kedua anaknya yang harus menunggu buah kelapa muda dan sebilah pedang di suatu tempat yang begitu panas karena terik matahari.
Diputuskan bahwa Gajah Agung menjadi anak yang terpilih untuk menggantikan tahta kerajaannya, sebagai raja. Pada cerita tersebut tampat rasionalitas yang ditunjukkan Prabu Tajimalela berhubungan erat dengan bagaimana seharusnya (calon) pemimpin peka terhadap lingkungannya dan tetap bertanggung jawab atas wilayah yang dipimpinnya. Setidaknya perilaku pengujian yang dilakukan Prabu Tajimalela mengindikasikan adanya kesadaran atas realitas hidup yang harus benar-benar dipahami ketika seseorang berada dalam suatu ancaman atau kekurangan. Kondisi yang dihadapi kedua anaknya menunjukkan secara simbolik kenyataan hidup dan tantangan yang harus dihadapi seorang pemimpin ketika ia menduduki tahta sebagai pemimpin.
Ekspresi ketidakbertahanan Lembu Agung yang kepanasan saat menunggu kelapa muda dan sebilah pedang secara simbolik menunjukkan ketidakmampuannya mengatasi masalah yang dimungkinkan selalu ada sehubungan dengan tugas kepemimpinannya. Dalam hal ini, kemampuan mengatasi masalah pribadi (intern) menjadi bagian penting. Lembu Agung dianggap tidak berhasil mengatasi masalahnya sendiri. Keputusannya untuk meninggalkan kedua benda tersebut menunjukkan sikapnya yang tidakbertanggungjawab atau lalai terhadap tugas yang diembannya.
Gajah Agung yang terpilih menjadi pengganti Prabu Tajimalela merepresentasikan figur pemimpin yang bertanggungjawab atas tugas yang diembannya. Ia telah berhasil mengatasi masalahnya terlebih dahulu tanpa harus melalaikan tugasnya. Tindakan meminum kepala muda untuk mengatasi kepanasan dan kehausannya menunjukkan suatu sikap yang peka atas masalah yang sedang dihadapinya. Secara spontan dan melalui pertimbangan rasionalnya, ia memutuskan untuk cepat mengatasi masalahnya tanpa harus meninggalkan tugasnya. Secara simbolik, kedua benda tersebut menunjukkan sarana yang harus digunakan dalam mepertahankan tampuk kepemimpinannya.
Sebilah pedang adalah sebuah kekuatan untuk mengatasi masalah sedangkan kelapa muda adalah sebuah jalan untuk mengatasi masalah. Dihubungkan dengan tugasnya menjaga keutuhan wilayahnya, seorang pemimpin yang ditunjukkan cerita tersebut diidealisasi melalui kepekaan seorang pemimpin dalam memilih calon penggantinya. Mempertahankan keutuhan wilayah, menjaga kenyamanan diri dan lingkungan, dan cepat tanggap mengatasi masalah adalah beberapa kemampuan pemimpin yang direpresentasikan cerita Lembu Agung jeung Gajah Agung.
Adapun pada cerita Embah Haji Wangkelang, tokoh leluluhur dicitrakan sebagai tokoh sakti dan kepeduliannya mempengaruhi keamanan lingkungan setempat. Kehancuran yang terjadi di sebuah tempat pemujaan akibat sebuah pohon tumbang menimpa tempat pemujaan tersebut. Masyarakat mempercayai bahwa hal tersebut diakibatkan oleh kepergian seorang leluhur bernama Embah Haji Wangkelang ke Cirebon.
Sama halnya dengan masalah yang muncul pada cerita Lembu Agung jeung Gajah Agung, cerita Embah Haji Wangkelang merepresentasikan kebergantungan masyarakat kepada figur leluhur yang mampu mengayomi masyarakatnya. Nama yang melekat kepada tokoh pada cerita tersebut, yaitu Haji Wangkelang “bandel” mengindikasikan harapan masyarakat untuk berada dalam perhatian besar leluhurnya. Peristiwa kepergian embah Haji Wangkelang ke Cirebon dan kejadian runtuhnya kayu sebagai akibat kepergiannya merepresentasikan dua fenomena yang bersinggungan dengan masalah kepercayaan atas harmonisasi masyarakat dengan alam supranaturalnya. Hal tersebut diekspresikan melalui pemanfaatan tempat pemujaan yang mengalami kehancuran tersebut. Teks legenda tersebut menunjukkan secara tidak langsung kehadiran dua fenomena, yaitu kebergantungan praktik pemujaan masyarakat melalui pengharapan kepada leluhurnya sebagai jalan penolong masalah hidup yang dihadapi masyarakat dan negasi kondisi pertama yang diekpresikan melalui kepergian leluhur sehingga pohon dan tempat pemujaan menjadi hancur.
Fenomena kedua mengarah kepada andil leluhur dalam mengupayakan spiritualisme bagi masyarakatnya melalui kepergiannya ke Cirebon dalam kepentingan muludan. Cerita Sasakala Cihanyir merepresentasikan tokoh yang dianggap sebagai leluhur warga Cihanyir Cadasngapar Sumedang.
Buyut Anggrok sebagai orang pertama yang membuka area Cihanyir tersebut menunjukkan andil kepemimpinannya dengan jalan memanfaatkan peristiwa tragis sebagai moment penyadaran warganya. Peristiwa tragis yang dimaksud adalah pertikaian dua bersaudara, Embah Santri Galing, yang kerana kesalahpahamannya, mereka saling membunuh. Jalan yang dilalui Embah Santri Galing meninggalkan bekas darah dan bau amis. Atas peristiwa itu, tempat tersebut dinamakan Cihanyir sebagai ekspresi bahwa di daerah tersebut sempat tercium bau amis darah. Pertikaian tersebut lebih disebabkan karena kesalahpahaman kedua tokoh yang berlainan agama, yaitu antara Islam dan Budha. Diketahui bahwa dua bersaudara tersebut telah terpisah sejak kecil dan baru dipertemukan kembali setelah mereka dewasa. Pertemuannya pun tidak menunjukkan bahwa mereka saling mengenal apalagi menyadari bahwa mereka berdua adalah saudara.
Peristiwa-peristiwa penting dalam cerita Sasakala Cihanyir menunjukkan bahwa realita hidup yang tidak lepas dari konflik disikapi oleh subjek kolektif sebagai satu bagian kesadaran mereka atas pentingnya menciptakan rasa aman dan persaudaraan.
Pada cerita Asal-usul Lembur Pamelang, tokoh yang dikenal sebagai Kangjeng Dalem Aria Soeria Atmadja merupakan tokoh kharismatik karena kesaktiannya. Subjek kolektif mengenal tokoh tersebut memiliki kemampuan saciduh metu saucap nyata. Beberapa peristiwa menunjukkan bahwa subjek kolektif mempercayai kemampuan tokoh tersebut.
Salah satu peristiwa yang dipercaya subjek kolektif adalah fakta yang harus diterima oleh mereka bertalian dengan potensi pohon nira menghasilkan lahang “air nira”. Mereka merasa yakin berkurangnya air nira yang dihasilkan di daerahnya diakibatkan karena mereka tidak berterus terang kepada Kangjeng Dalem saat ditanya tentang ukuran lodong “ruas bambu penampung air nira” yang pendek di kampung tersebut. Maksud merendah hati dari masyarakat dengan mengatakan lodong yang biasa mereka gunakan ukurannya pendek-pendek mengakibatkan air nira yang dihasilkannya menjadi berkurang hingga saat ini.
Pada peristiwa lainnya, tokoh bernama Kangjeng Dalem Aria Soerja Atmadja meresmikan nama sebuah kampung yang banyak terdapat ikang melang di dalam sungai yang mengitarinya. Kehadirannya di tengah-tengah masyarakat karena kegemarannya berburu dan memancing ikan menunjukkan hubungan yang terjadi dengan masyarakatnya. Kepemimpinan yang tampak kharismatik tersebut lebih menunjukkan sikap penguasaan terhadap masyarakatnya tanpa mengandalkan tindakan kompromi.
Subjek kolektif mempercayai kepergian Kangjeng Dalem tersebut ke Mekah hingga meninggal di sana merupakan wujud penyesalan dan tobatnya karena sering mendatangkan kerugian bagi masyarakatnya. Namun demikian, sosok dirinya dengan kemampuan saciduh metu saucap nyata merupakan sosok yang potensial untuk terus dikenal dan dikenang oleh subjek kolektifnya. Potensi tersebut berimplikasi terhadap kesadaran yang berkembang dalam memahami realita sehubungan dengan kepemimpinan di lingkungan subjek kolektifnya.
Adapun pada cerita Asal-usul Desa Marongge, kepemimpinan ditunjukkan oleh tokoh Embah Gabug yang tindakan-tindakannya merujudkan nilai-nilai perjuangan dalam mencapai kesempurnaan hidup. Keteguhannya menentukan pasangan hidupnya melalui sayembara dan putusan akhir yang dilakukan demi memberi berkah bagi banyak orang menunjukkan nilai-nilai kepemimpinannya yang banyak memberikan inspirasi bagi subjek kolektifnya. Inspirasi yang dimaksud berhubungan dengan pandangan mereka terhadap leluhur yang bersedia mengorbankan dirinya demi memberikan banyak manfaat bagi orang banyak.
Selain itu, kebersamaanya dengan saudara-saudaranya dan keputusannya untuk bertapa sendirian dalam meraih kesempurnaan hidup, merupakan wujud ekspresi kepemimpinannya. Makam tempat bersemayam jasadnya menjadi bagian dari kepercayaan subjek kolektif dalam menempatkan Embah Gabug sebagai bagian dari figur pemimpin yang banyak memberi jasa kepada masyarakatnya. Aktivitas ziarah ke makam Embah Gabug yang dilakukan subjek kolektif dengan berbagai kepentingannya semakin menegaskan bahwa Embah Gabug menjadi salah satu leluhur yang akan tetap dikenang dan dicitrakan sebagai leluhur yang penuh pengorbanan.
Berdasarkan uraian menyangkut kepemimpinan kelima cerita di atas, citracitra kepemimpinan di dalamnya berhubungan erat dengan bagaimana tokohtokoh yang terikat dengan kedudukannya sebagai pemimpin (dalam arti luas) menunjukkan sikap dan tindakan-tindakan kepemimpinannya. Sikap dan tindakan yang dimaksud terefleksikan melalui sejumlah pandangan dunia yang muncul dari subjek kolektifnya atas pemimpinnya.
Tokoh dengan kemampuan saciduh metu saucap nyata menjadi tipe khas dari sejumlah citra pemimpin leluhur Sumedang. Kesaktian tersebut lebih menegaskan adanya pelegitimasian terhadap kekuasaan pemimpin yang dimaksud. Kemampuan tersebut merupakan bagian instrumen dari praktik hegemoni yang dilakukan pemegang kekuasaan.
4.2 Hegemoni dan Struktur Sosial
Praktik hegemoni yang dijalankan para penguasa pada kelima cerita berhubungan erat dengan penyebaran legenda sebagai salah satu instrument hegemoni dan pelegitimasin kekuasaan pemimpin pada moment atau masa yang berikutnya. Hubungan yang dimaksud ditunjukkan oleh keterkaitan secara struktural antara legenda dengan masyarakatnya dalam praktik penyebaran dan kesadaran mempercayai kebenaran isi cerita legenda tersebut.
Terdapat tiga tipe kepemimpinan leluhur Sumedang yang diwakili oleh tiga tokoh, yaitu (1) Prabu Tajimalela, (2) Pangeran Aria Soeria Atmadja, dan (3) Embah Gabug. Berikut ini diuraikan subbab-subbab menyangkut hegemonik dan struktur sosial yang berhubungan dengan ketiga tokoh tersebut.
4.2.1 Prabu Tajimalela
Praktik hegemonik yang muncul dalam cerita Lembu Agung jeung Gajah Agung ditunjukkan secara tidak langsung melalui tokoh pemegang kekuasaan Sumedang Larang. Prabu Tajimalela.
Dalam cerita tersebut tidak diceritakan secara langsung bagaimana pandangan dunia subjek kolektif terhadap pemimpin dan kepemimpinannya. Akan tetapi, melalui sikap dan tindakan Tajimalela saat menentukan pengganti tahta kerajaan yang dipegangnya melalui pengujian, menunjukkan bahwa konsekuensi logis dari kemampuan diri seseorang, termasuk di dalmnya subjek kolektif secara menyeluruh, tetap berada dalam standardisasi sang penguasa. Tidak saja menyangkut siapa yang berhak menduduki tahta, tetapi bagaimana proses pemilihan tersebut mampu menggiring kepada sebuah bentuk kesadaran bagi rakyatnya, yaitu kesadaran akan kemampuan diri yang selalu dibatasi oleh kualitas kelas sosial. Dalam hal ini, ketangguhan tampak menjadi hak pihak penguasa dan kelemahan menjadi bagian dari rakyat jelata. Citra adil bijaksana tampak melekat pada perilaku Tajimalela sehubungan dengan peristiwa pemilihan calon penggantinya tersebut.
Namun demikian, secara potensial cerita tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan yang hegemonik di dalamnya dapat ditafsirkan melalui makna di balik pengujian tersebut. Setidaknya, pengujian yang dimaksud merepresentasikan tingkatan negosiasi sang penguasa atas rakyatnya. Dua anaknya, Lembu Agung dan Gajah Agung, merupakan prototipe pihak yang dinegosiasi untuk menunjukkan citra kepemimpinannya yang adil. Pandangan dunia subjek kolektif digiring kepada pemahaman bahwa ketangguhan, kebertahanan, kesetiaan, dan tanggung jawab merupakan kriteria yang diutamakan dalam menentukan siapa orangnya yang dapat menjangkau harapannya, termasuk menempati posisi penting dalam lingkungan kerajaan.
Dalam hal ini, tindakan Lembu Agung meninggalkan tempat pengujian dipersepsi oleh sang penguasa sebagai suatu ketidakberdayaan tokoh. Artinya, tempat menjadi pusat dan bagian yang sangat penting dalam wacana pengujian tersebut. Dengan demikian, pandangan dunia yang mengarah kepada kesadaran tertentu ditekankan kepada kesetiaan dan ketangguhan menjaga keutuhan wilayahnya. Adapun tindakan Gajah Agung yang meminum air kelapa muda, dipersepsi sebagai suatu tindakan yang tepat karena tugas utama menunggu kedua benda, pedang dan buah kelapa muda, harus dibuktikan dengan kesiapan menjaga kedua benda tersebut tanpa meninggalkannya.
Melalui dua tindakan calon raja tersebut, dapat diketahui selubung hegemonik yang dijalankan pemimpin di dalmnya. Segala aturan main, standardisasi, dan pengambilan keputusan diarahkan kepada pembentukan kepekaan menafsirkan simbol-simbol di dalmnya. Dengan simbol-simbol ini, kelugasan tindakan sang penguasa dapat diminimalisir dan dialihkan kepada hal yang seolah-oah bersifat kompromis, halus, aspiratif, dan simbolik.
Peluang penafsiran seubjek kolektif terhadap simbol-simbol yang terkandung dalam cerita tersebut tampak cukup besar. Tidak saja buah kelapa muda dan pedang, tetapi wilayah yang panas akibat pancaran sinar dari pedang tersebut merupakan elemen-elemen simbolik yang berpeluang untuk ditafsirkan secara luas. Simbol-simbol tersebut merupakan upaya penghalusan citra kepemimpinan yang kompleks sehubungan dengan sejumlah sikap, perbuatan, visi dan misinya saat dihadapkan kepada wilayah kekuasaannya dan masyarakatnya sebagai subjek kolektif.
Penyebaran legenda tersebut dikukuhkan melalui persepsi subjek kolektif terhadap kuburan ketiga tokoh tersebut. Kuburan Lembu Agung yang dimakamkan di Astana Gede Darmaraja Sumedang, pada bulan-bulan khusus, banyak dikunjungi orang. Mereka datang ke Astana Gede untuk berbagai kepentingan, di antaranya untuk memperteguh jiwa dan menyembuhkan berbagai penyakit akibat melanggar ketabuan.
Korelasi yang terjalin antara teks legenda dengan kehidupan yang dijalani subjek kolektif sehubungan dengan kenyataan di atas menunjukkan keterikatan secara kompleks. Lembu Agung yang dinyatakan kalah dalam pengujian oleh Prabu Tajimalela dipersepsi subjek kolektif sebagai sarana memperteguh jiwa dan media penyembuh berbagai penyakit akibat melanggar ketabuan. Fakta ini dapat diinterpretasi melalui pemahaman kualitas simpati subjek kolektif terhadap kenyataan Lembu Agung yang mengasingkan diri dan bertapa hingga menjadi seorang resi.
Sejalan dengan kenyataan tersebut, Lembu Sgung merupakan representasi subjek kolektif yang harus siap menerima apapun keputusan dari penguasanya. Subjek kolektif memahami realita menyangkut nasib, peluang, hukuman (termasuk pelanggaran ketabuan), dan kesadaran yang harus ditumbuhkembangkannya bertalian dengan bagian posisinya dalam keseluruhan.
Subjek kolektif merupakan bagian dari sejarah. Dengan demikian, ia mewarisi akibat praktik hegeminik pemimpin masa lampaunya. Legenda pun menjadi bagian yang tidak dapat dielakkannya dalam mencari dan mencapai pemahaman atas realita menyangkut pemimpin dan kepemimpinan leluhurnya.
4.2.2 Pangeran Aria Soeria Atmadja
Tokoh bernama Pangeran Aria Soeria Atmadja ini dikenal oleh subjek kolektif dengan nama Pangeran Mekah. Darisekian banyak Bupati Sumedang, Pangeran Mekah merupakan salah satu leluhur Sumedang yang terkenal karena kesaktiannya. Subjek kolektif mengenal tokoh tersebut saciduh metu saucap nyata “kata-katanya terbukti karena kesaktiannya”. Legenda-legenda yang menyebar di lingkungan subjek kolektif menyangkut dirinya sebagian besar berisikan tentang sejumlah kesialan-kesialan yang harus diterima masyarakat akibat tindakan Pangeran Mekah dengan kesaktiannya itu.
Peristiwa kesialan dan kerugian yang harus diderita mesyarakat direpresentasikan oleh cerita-cerita legenda yang menonjolkan sisi citra kekuasaan Pangeran Mekah. Meski teks tidak menunjukkan secara eksplisit bagaimana otorita dijalankan Pangeran Mekah atas rakyatnya, tetapi teks secara potensial menunjukkan adanya praktik hegemonik yang dijalankan Pangeran Mekah melalui ekspresi yang berbeda. Ekspresi praktik hegemonik tersebut diwujudkan dalam sejumlah interaksi dirinya dengan masyarakatnya yang sebagian besar menunjukkan sisi superior karena kesaktiannya.
Beberapa cerita menyangkut kerugian yang harus ditanggung masyarakat berhubungan erat dengan hasil panen dan potensi alam. Subjek kolektif percaya bahwa hasil panen yang rendah dengan kualitas yang rendah pula diakibatkan karena ketidakjujuran mereka kepada Pangeran Mekah menyangkut potensi hasil bumi yang dimiliki warga. Karena kecewa atas sikap penduduknya yang seperti itu, Pangeran Mekah dianggap telah menggunakan kesaktiannya untuk mengubah kualitas hasil panen masyarakat.
Fakta cerita tersebut menunjukkan praktik hegemonik melalui cara yang lain. Pangeran Mekah seolah menunjukkan sikap tidak bermasalahnya atas tindakan masyarakatnya. Namun demikian, ketidakterusterangan masyarakat yang sebenarnya lebih menunjukkan sikap hormat kepada Pangeran Mekah dianggap sebagai sikap yang tidak selayaknya mereka tunjukkan kepada sang penguasa.
Sikap-sikap yang ditunjukkan Pangeran Mekah tersebut dapat saja berada di luar wilayah praktik hegemonik. Sisi otoriternya, menyangkut keberhakannya menentukan suatu tindakan dan keputusan yang diambil secara sepihak, terselubung dibalik sikap diamnya. Ia tidak secara tegas dan lugas memperingatkan masyarakatnya atas apa-apa yang diperbuatnya. Masyarakat seolah diberi pelajaran untuk cepat tanggap atau peka memahami situasi tertentu sehubungan dengan sejumlah aktivitas yang selayaknya mereka lakukan, termasuk sikap berterusterangnya. Namun demikian, ekspresi kompromi sebagai wujud praktik hegemoniknya muncul kemudian setelah pemahaman dan kesadaran terbentuk atas kenyataan yang harus dihadapi menyangkut kerugian yang harus ditanggung oleh subjek kolektifnya.
Secara nyata, praktik hegemonik yang dijalankan adalah membentuk keyakinan subjek kolektif atas latarbelakang potensi alam yang berada di wilayah kekuasaan Pangeran Mekah. Kesadaran yang dibentuk lebih berpusat kepada bagaimana mereka harus berpasrah atas apa yang sudah menjadi hak miliknya. Pemahaman mereka atas potensi alam diarahkan kepada terbentuknya kesadaran bahwa penguasa menjadi bagian penting dalam menentukan terciptanya potensi alam. Dengan demikian, secara tidaklangsung pembentukan kesadaran tersebut merupakan wujud praktik hegemonik dalam hal pengikatan dan kebergantungan subjek kolektif terhadap penguasanya.
Dalam tataran hubungan legenda yang memunculkan tokoh Pangeran Aria Soeria Atmadja tersebut dengan struktur sosial yang lebih luas, kesadaran yang terbentuk akibat praktik hegemonik penguasa melahirkan keyakinan subjek kolektif atas potensi alam yang dilatarbelakangi oleh legenda-legenda yang menunjukkan kesaktian Pangeran Aria Soeria Atmadja.
4.2.3 Embah Gabug
Cerita asal-usul Marongge merepresentasikan praktik hegemonik yang tidak diwakili oleh figur seorang pemimpin wilayah pemerintahan tertentu, tetapi ditunjukkan melalui figus seorang wanita yang dengan kesaktian dan keteguhan hatinya mampu mewariskan nilai-nilai moral bagi subjek kolektifnya. Embah Gabug merupakan sosok wanita yang menjalankan praktik hegemonik dalam pengeryian khusus. Ia mampu membawa kesadaran subjek kolektif atas kekuatan supranatural yang menjadi bagian penting dari seluruh aktivitas manusia dalam menjalani dan menghadapi tantangan hidupnya. Embah Gabug menunjukkan keteguhan hatinya untuk menyempurnakan ilmunya demi menolong banyak orang.
Pengorbanan yang ditunjukkannya merupakan ekspresi dari praktik hegemoninya. Status dia sebagai wanita yang diperebutkan para raja untuk dipersunting dan tindakannya melakukan tantangan pengujian terhadap mereka menunjukkan anasir-anasir hegemonik dalam perspektif mencari kesepakatan.
Berhubungan dengan struktur yang lebih luas, legenda tersebut menempati posisi sebagai instrumen pelegitimasian sosok leluhur yang mewariskan nilai-nilai moral pada keturunannya. Pelegitimasian yang dimaksud diupayakan melalui praktik sempit-meluas. Maksudnya, praktik hegemonik yang dijalankan Embah Gabug beranjak dari lingkungan saudaranya. Status ia sebagai kakak tertua membuka peluang yang cukup besar dalam meluluskan sejumlah harapannya termasuk keinginannya menjadi manusia yang berilmu sempurna dan mengabdi kepada kepentingan orang banyak. Beranjak dari kondisi tersebut, kenyataan yang terjadi atas Embah Gabug yang dipercaya subjek kolektifnya mengarahkan kesadaran bahwa Embah Gabug adalah bagian dari pemimpin yang pada momen-momen tertentu, subjek kolektif merasa sangat bergantung kepadanya. Kebergantungan subjek kolektif terbukti dengan kepercayaan mereka atas makam Embah Gabug yang sering diziarahi. Mereka percaya bahwa makam tersebut sebagai media penghubung dalam meraih maksud-maksud tertentu sehubungan dengan aktivitas hidup mereka.
Praktik hegemonik yang direpresentasikan legenda tersebut lebih mengarah kepada penunjukan adanya pengorbanan leluhur dalam menciptakan harmonisasi hidup. Dengan demikian, legenda tersebut mengarahkan kesadaran dan keyakinan yang berorientasi supranatural.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5. 1 Simpulan
Kepemimpinan leluhur Sumedang berdasarkan cerita legenda dan hubungannya dengan struktur sosial subjekkolektifnya, dicitrakan melalui sosok pemimpinnya. Citra pemimpin yang dimaksud adalah: (1) pemimpin yang membentuk kesadaran subjek kolektif melalui tataran simbolik, (2) pemimpin yang memorable karena kesaktiannya mempengaruhi potensi alam, dan (3) pemimpin yang mewariskan nilai-nilai keteguhan hati demi memberi banyak manfaat kepada banyak orang.
Kesadaran dan kepercayaan subjek kolektif atas legenda-legenda kepemimpinan leluhurnya dihasilkan daripraktik hegemonik pemimpin dalam menciptakan harmonisasi dan legitimasi kekuasannya. Dalam hubungannya dengan struktur yang lebih luas, legenda bertindak sebagai instrumen penopang praktik hegemonik dan alat pelegitimasian kekuasaan leluhurnya.
5.2 Saran
Penelitian ini belum menjangkau sampel data secara menyeluruh. Dengan demikian, penelitian mengenai citra kepemimpinan leluhur Sumedang dapat diupayakan melalui sampel data yang lebih lengkap, seperti sampel data berbentuk pantun Sunda, dongeng Sunda, atau bahkan puisi-puisi tradisional Sunda lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Cris, 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Penerjemah dan Penyunting: Tim KUNCI Cultural Studies Centre. Yogyakarta-Bandung: Bentang.
Bauman, Richard. 1989. Story, Performance, and Event. Contextual Studies of Oral Narrative. Cambridge-New York-Melbourne: Cambridge University Press.
Cassier, Ernest. 1990. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Kebudayaan. Diterjemahkan oleh Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia.
Capra, Fritjof. 2004. The Hidden Connections. Penerjemah: Andya Primand. Bandung-Jogjakarta: Jalasutra.
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.
Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lainlain. Jakarta: Grafiti.
Dundes, Alan. 1980. Interpretating Folklore. Bloomington & London: Indiana University Press.
———— 1984. Sacred Narrative: Reading in the Theory of Myth. Berkeley-Los Angeles-London: University of California Press.
Ekadjati, Edi S. 1984. Masyarakat Sunda dan Kebudayaan. Jakarta: Girimukti Pasaka.
Fang, Liaw Yoct. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga.
Faruk. 1994. Pengantar Sosilogi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Finnegan, Ruth. 1984. Oral Traditions and The Verbal Arts: A Guide to Research Practices. London and New York: Routledge.
Foley, John Miles. 1988. The Theory of Oral Composition: History and Methodology.Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
Foucault, Michel. 2000. Sejarah Seksualitas: Seks dan kekuasaan. Diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat. Jakarta: Gramedia.
Iser, Wolgang. 1987. The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response. Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press.
Moes, Diana N. 1990. Fungsi Folklor di dalam Masyarakat Pendukung. Disertasi. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Mustopa, Hasan. 1991. Adat Istiadat Sunda. Diterjemahkan oleh Maryati Ssatrawijaya. Bandung: Alumni.
Rosidi, Ajip (ed). 2000. Ensiklopedi Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya. Rusyana, Yus. 1981. Cerita Rakyat Nusantara. Himpunan Makalah tentang
Cerita Rakyat. Bandung: Fakultas Keguruan Sastra dan Seni, IKIP.
————- dkk. 1991. Sastra Lisan Sunda (Lanjutan II). Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
Sweeney, Amin. 1987. A Full Hearing: Orality and Literary in the Malay World. Berkeley-Los Angeles-London: University of California Press.
Takwin, Bagus. 2005. Kesadaran Plural.: Sebuah Sintesis Rasionalitas dan Kehendak Bebas. Bandung-Jogjakarta: Jalasutra.
Bandung, 11 November 2006
Tim Peneliti
LAPORAN PENELITIAN KEPEMIMPINAN LELUHUR SUMEDANG
DALAM TRADISI LISAN: DESKRIPSI DAN PERSEPSI
Oleh:
Ketua : Taufik Ampera, Drs., M.Hum.
Anggota I : Teddi Muhtadin, Drs.
Anggota II : Asep Yusup Hudayat, S.S.
Dibiayai oleh Dana DIPA PNBP Universitas Padjadjaran Tahun Anggaran 2006
Berdasarkan SPK No. 206/J06.14/LP/PL/2006 Tanggal 29 Maret 2006
LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PADJADJARAN NOVEMBER 2006
LAMPIRAN:
PERSONALIA PENELITIAN
I. Ketua Peneliti
a. Nama : Taufik Ampera, Drs., M.Hum.
b. Golongan/pangkat/NIP : IIIc/Penata/132206483
c. Jabatan Fungsional : Lektor
d. Jabatan Struktural : Sekretaris Jurusan
e. Fakultas/Program Studi : Sastra/Sastra Daerah (Sunda)
f. Perguruan Tinggi : Universitas Padjadjaran
g. Bidang keahlian : Sastra
II. Anggota 1:
a. Nama : Teddi Muhtadin, Drs.
b. Golongan/pangkat/NIP : IIIb/Penata Muda/132234921
c. Jabatan Fungsional : Asisten Ahli
d. Jabatan Struktural : -
e. Fakultas/Program Studi : Sastra/Sastra Daerah (Sunda)
f. Perguruan Tinggi : Universitas Padjadjaran
g. Bidang keahlian : Sastra
Anggota 2:
h. Nama : Asep Yusup Hudayat, S.S.
i. Golongan/pangkat/NIP : IIIa/Penata Muda/132321587
j. Jabatan Fungsional : Asisten Ahli
k. Jabatan Struktural : -
l. Fakultas/Program Studi : Sastra/Sastra Daerah (Sunda)
m. Perguruan Tinggi : Universitas Padjadjaran
n. Bidang keahlian : Sastra
TRANSKRIPSI DATA
1. Lembu Agung jeung Gajah Agung
Kacarioskeun Prebu Tajimalela di Darmaraja kagungan putra dua, nyaeta Lembu Agung sareng Gajah Agung. Ku margi Prebu Tajimalela tos pupus, nya anjeunna bade liren tina kalungguhanana.
Ku margi eta rai-raka teh sami-sami hoyong ngagentos kalungguhan ramana, nya dilotre kuramana. “Tungguan dawegan nu nu dituruban ku gobang dina poe mentrangmentring.
Naon kajadianana?” kitu saur ramana. Ditungguan ku Lembu Agung sareng Gajah Agung. Teu lami Lembu Agung ngaraos hareudang, bade ngebak heula. “Yi, akang mah teu kuat hareudang, rek mandi heula!” Nya, lembu Agung teh ngaleos rek ngebak. Gajah Agung, ditahan-tahan beuki hayang nginum sabab panas ku poe nu mentrang-mentring. Dileguk cai dawegan teh ku anjeunna.
Kurunyung rakana tos ngebak. “Kumaha, Rai?” “Teu kuat abdi ge, batal!” Te lami aya ramana. Gajah Agung diserenan lantaran dawegan beak ku manehna. “Keun raka dekengna mah!” saur Lembu Agung.
Keterangan:
Informan (Sutama) seorang juru kunci. Ia mulai bekerja sejak tahun 1970 menggantikan ayahnya yang bernama Ohed. Ia mendapat cerita dari ayahnya. Peneliti melihat langsung kuburan yang diceritakan dalam kisah tersebut, yaitu kuburan Lembu Agung yang dimakamkan di Astana Gede. Kisah ini menyebar di masyarakat secara luas. Pada bulan-bulan Khusus, makam Lembu Agung banyak dikunjungi orang. Mereka datang ke Astana Gede untuk berbagai kepentingan, di antaranya untuk memperteguh jiwa dan menyembuhkan berbagai penyakit akibat melanggar ketabuan.
2 Embah Haji Wangkelang
Aya kajantenan anu sakawitna ngeunaan masarakat anu tebel keneh kapercantenanana ku kajadianana dina sasih Mulud. Numutkeun sepuh, karuhun-karuhun nu asalna ti Cirebon dina mayunan dua belas Mulud parantos aya di Cirebon. Eta tiasa diperkirakeun kajadianana teh aya hubunganana sareng Gunung Jagat.
Aya hji pamuhunan anu ngageugeuh katelahna Embah Haji Wangkelang. Eta pamuhunan saking ku parantos lamina kasodoran ku hiji dahan kiara anu ageung. Eta pamuhunan teh aya sahandapeun dahan anu pohara ageungna. Dina kira tanggal wewelasan Mulud taun 1959 eta pamuhunan teh katinggang ku kai.
Ku bapa kuncen dipotong si kai teh. Di lebet kai parantos aya tanggal. Teu kahartos saha anu nyeratna eta tanggal di jero kai. Ieu leres kajantenan, yen anu ngageugeuh eta pamuhunan nuju ka Cirebon; upami teu ka Cirebon mah, si kai teh moal runtuh.
Keterangan:
Informan mendapat cerita ini dari juru kunci makam Keramat Embah haji Wangklang pada taun 1979 ketika bertugas di SD Cisampih Cadasngampar Sumedang. Juru kuncinya bernama Undeng. Cerita ini menyebar secara luas di dalam dan di luar lingkungan Dusun Cisampit
Cadasngampar Sumedang.
3 Sasakala Cihanyir
Saur sepuh, kapungkur teh aya sepuh jenenganana Embah Santri Galing nu kagungan saderek disebatna Santri Galing oge. Saur sepuh, rakana anu di dieu teh (anu tilemna di Pamoyanan) sareng raina (anu pupus di Cihanyir) sami-sami henteu terang margi sami-sami papisah nuju alit.
Embah Santri Galing (nu pupus di dieu) nuju masantren di Garut, naming disusulan ku rakana ti Mataram ka Garut. Rakana henteu terangeun rupi raina teh. Saur panyariosan, nya tepangna eta dua sodara teh di Pamoyanan. Namung ku margi itu ieu teu terang tea, di dinya pancakaki. Raina agama Islam ari rakana ngagem agama Budha. Nya, kukitu tea, kumargi kasalahpahaman di antawis dua sodara dugi ka perang rongkah; dugi ka silihtelasan. Puguh sahandapeun Embah Santri Galing anu ngagem agama Islam teh jeung ongkoh henteu aya niat papaseaan tapi kumargi kapaksa dugi ka ditelasan. Tapi henteu ari dugi ka pupus harita mah.
Nya, ti dinya goloyoh, saparantos dipergasa teh; turun ka Cihanyir nu disebat ayeuna dugi ka pupusna. Rakana aya di Pamoyanan. Sepuhna miwarang nyusulan nu nuju masantren; kari ayeuna saparantos sadar, geuning anu ditelasan ku anjeunna teh raina. Nya, dugikeun anjeunna oge nelasan ku anjeun. Ku margi lembur nu kalangkungan ku nu boborot getih, nya tempat eta teh disebat Cihanyir margi bau hanyirku getih.
Keterangan:
Menurut informan, yang membuka daerah Cihanyir untuk pertama kalinya adalah Buyut Anggrok. Baru setelah peristiwa seperti yang diceritakan di atas terjadi, maka daerah tersebut mulai dikenal dengan nama Cihanyir. Informan pun menyebutkan adanya bekas-bekas peninggalan peristiwa tersebut, yaitu tempat istirahatnya dari rasa sakitnya karena luka parah.
Selanjutnya informan menerangkan, akibat kejadian masa silam yang demikian itu, maka di daerah Cihanyir tempat tinggal informan, sering terjadi hal yang serupa, yaitu peristiwa pertengkaran yang selalu memakan korban sampai meninggal dunia. Dan peristiwa yang paling menggegerkan sampai saat ini adalah kasus Sabo yang mencoba memperkosa seorang gadis di tengah hutan. Akibat perbuatannya ia harus mengakhiri hidupnya di dalam kepungan massa.
4. Asal-usul Lembur Pamelangan
Jaman kapungkur sok aya istilah mupu (ngala lauk). Kacarioskeun kangjeng Dalem ti Sumedang sok ngersakeun mupu atanapi moro. Kanjeng Dalem teh ngabujeng ka salahsawios tempat, nyaeta anu aya di Desa Kadu. Margi jaman harita mah ka Kanjeng Dalem Sumedang teh anu disebat Kanjeng Prebu, istilahna teh sok disebat saciduh metu saucap nyata. Malihan ngangge jalanna teh ngalangkungan Kacamatan Wado; singgah di salahsawios tempat di Desa Cipeundeuy alam kiwari. Di dinya Kanjeng Dalem teh, saur nu ningali, pependak sareng nu tos nyadap kawung. Kaleresan nu kapendak ku anjeunna teh lodongna pondok. Ari nu ngawaler mah ka Kanjeng Dalem sabalakana. Atuh Kanjeng Dalem sumanggem sahinasna deuih. Namung ku kagungan pangadiwasa saciduh metu saucap nyata tea, nya dugikeun ka ahirna, salahsawios nu ditaros tea, kenging disebatkeun karugelan dugi ka anak incu. Anu ditaros harita kaleresan nyandak lodongna teh parondok. Saur kanjeng Dalem: “Naha ieu teh salamina… naha tos biasa nyadap ngala cai kawung the lodongna mung sakieu sakieu?”.
Kumargi panginten geumpeur tea ditaros ku Kangjeng Dalem, nya ngawalerna teh mung ukur sumuhun dawuh. Nya, karugelanana teh dugi ka alam kiwari. Cai kawung teh henteu sapertos di daerah sanes, tetep bae mung ku lodong parondok, margi sakedik caina.
Nya, gancang carita, mupuh we di dinya, di salahsawios tempat. Nya kaleresan lauk nu pangseueurna teh di dinya, nyaeta lauk melang. Sabada macangkrama upacara adat di dinya, nya anjeunna nyanggemkeun: “Tah ieu tempat teh urang ngaranan wae Pamelangan, asal kecap melang.”
Nya, dugi ka alam kiwari eta daerah teh disebut Kampung Pamelangan.
Keterangan:
Menurut informan, cerita tersebut ia peroleh pada tahun 1990 ketika berkunjung ke daerah tersebut dan menanyakan tentang asal-usul nama Pamelangan kepada tetua di tepat tersebut. Mengenai tokoh dalam cerita ini, menurut juru kunci Desa Pakualam Darmaraja, Kanjeng Dalem tersebut bernama Kanjeng Dalem Surya Atmaja.
Menurutnya tokoh tersebut meninggal di Mekah dan dimakamkan di sana pula. Menurut pengetahuan juru kunci tersebut, Kanjeng Dalem memang berniatuntuk meninggal di Mekah karena menyadari kesalahan-kesalahannya yang telah merugikan orang banyak dengan segala perkataannya yang ampuh itu. Menurut informan, kampung Pamelangan sampai saat ini merupakan tempat yang banyak dikunjungi orang untuk menangkap ikan.
5. Asal-usul Desa Marongge
Galur catur nu kapungkur turun ka para luluhur, gelar carita baheula warisan para ahlia dina jaman ngadegna karajaan mataram. Kocapkeun aya putri opat sadulur nu kaceluk ka kandang ewuh kakoncara ka janapria, ka jamparing angin-angin. Geulisna kawanti-wanti, endahna kabinabina. Geulisna bawana ngajadi endahna sanes pupulasan kawantu putri terusing ratu, rembesing kusuma, tetesan andarawarih.
Ari katelahna putri, teu aya sanes nyaeta nu kahiji jenengan Embah Gabung; nu kadua jenengan Embah Setayu; nu katilu jenengan Embah Naibah; nu kaopat jenengan Embah Naidah.
Luyu jeung pamuluk ratu timpuh andalemi, geulis teu dipake werejit, endah teu dipake baruang; diwuwuh ku elmu panemu, dipapaes jampe pamake, sakti manggulang-mangguling, weruh sadurung winara, waspada permana tinggal. Teu kurang para raja nu kapentang asmara. Teu kari para bopati nu katarik birahi matak leungit temah wadi. Maksud hayang ngunduh hayang mupu. Niat hayang ngala hayang murak dua cupumanik astagina. Taya raja anu gagah, taya bopati anu mahi geusan ngungkulan elmuna sang Ratu Ayu.
Ari lembur matuh dayeuh maneuh banjar karang pamidangan, babancik tempatna ngancik eta putri opat sadulur aya di lembur babakan anu pernahna sawetaneun lembur Marongge ayeuna.
Kocapkeun salahsaurang raja nu katelah Raja Subangkala nu asalna ti Nagri Subang geus kapentang asmara, hayang migarwa Embah Gabug.
Gancangna carita, Ki Patih diangkir calik, gulang-gulang diondang dating keur nyawalakeun paniatanana. Hasil gempungan, Ki Patih diutus pikeun ngalamar Embah Gabug nu aya di Kampung Babakan. Sabada Ki Patih pamit, bral miang diiring ku senapati, dijajap ku wadya balad.
Mun luntur kabuni ratu tangtu nu dimaksud lulus. Mun sugal manehna raja tangtu sulaya nu dipiseja. Tapi ulah gimir pedah sakti, tong hoream pedah gagah. Mun sulaya kapaksa dipirusa. Abrulan para utusan ngaleut ngeungkeuy ngabandaleut,ngembat-ngembat nyatang pinang, ngajugjug lembur Babakan.
Kocapkeun di lembur Babakan, lembur leutik camperenik matak betah nu ngumbara. Sepi paling towong rampog, sirna tina cangkreman para durjana. Estu matak ayem tengtrem; matak betah anu nyemah.
Kira wanci haneut moyan, kukupu sirama-rama hiber patingkeleper; mere iber ka urang lembur, ciciren rek aya tamu. Lajeng Embah Gabug menekung ka Nu Maha Agung, mujasmedi ka Yang Widi. Kawantu ratu punjul ku elmu, sakedapan oge parantos kenging pituduh ti Nu Maha Agung kalayan eces ebreh, atra pertela yen semah niatna jahat basilat. Embah Gabug lajeng ngagayuh elmu ngembat pangadiwasa, ngawirid ajianana. Dadak sakala pada harita sakabeh tamu utusan raja Subangkala patingkarusek, katerap panyakit tunduh. Panon lengket lir dileugeutan. Antukna, wadya balad sakabeh sarare tibra, rehe lir gaang katincak. Sabada kajadian kitu lajeng Embah Gabug lungsur. Sadaya tamu diguyahguyah sina garugah. Saparantosna garugah lajeng Embah Gabung ngalahir: “Heh, para ponggawa sadaya, ti mana anjeun asal jeung naon sababna aranjeun datang ka dieu kalayan teu mere iber ti anggalna. Ma’lum kula urang gunung, jauh ka bedug, urang desa anggang ka dulang, inggis ku bisi rempan ku sugan, boa-boa rek niat jahat ka kadang wargi kaula!”
Barang ki patih utusan di nagri Subangkala ngadangu kasauran Embah Gabug, lajeng anjeunna nembalan. Basana sugal garihal sabab kajurung ku napsu amarah teu kawadahan dumeh ngarasa kapeped jajaten, katitih pangarti, kaunghak pangabisa. Teu bisa nanya ti heula sabab kalah sare tibra. Pokna: “Kaula anu katelah Patih Raja Subangkala ti Nagri Subang manggul piutus nu jadi ratu, ngemban timbalan nu jadi raja pikeun ngalamar andika kanggo pigarwaeun raja kaula. Sukur lamun luyu jeung anu dipiutus tinangtu mulus rahayu. Tapi lamun sulaya jeung paniatan raja, tinangtu kaula anu baris maksa mirusana. Jeung kaula seja tumanya ka andika, naon sababna pangna kaula sabalad-balad datang ka dieu jadi tunduh lain usum lain wayah. Jeung naha bener anjeun anu ka telah Embah Gabug?”
Embah Gabug ngawaler kalawan jejem; estu pangger teu galideur ku hoakna ki patih. Sorana ngagalindeng maledog omong nu songong borongongong. “Duh, Ki Patih, leres pisan teu mencog sacongo buuk; teu sulaya jeung kedal lisan ki Patih. Nya, ieu anu gaduh wasta Gabug teh. Atuh eta anjeun sadayana geus katibanan panyakit tunduh, rupina tos ti ajali margi di Babakan umumna, hususna di Panyaweuyan ngagaduhan ciri nu mandiri. Tah ciri di Panyaweuyan upami aya tamu niatna bade ngunghak campelak sok ngadadak kaancikan panyakit tunduh saperti nu kaalaman ku aranjeun ayeuna. Ari eta paniatan raja aranjeun ku kaula moal burung dirawu dipangku sarta diteundeun dihandap-handap. Di luhur disuhun dina embun-embun, di tengah dina pangkonan, di tampi ku asta kalih, ka campa ka lingga murda. Balungbang timur, caang bulan opat welas; jalan gede sasapuan lir gunung tanpa tutugan, ibarat sagara tanpa sisi. Entong boroning beurang, sanajan janari tengah peuting kaula moal baha kana paniatan raja andika asal batu turun keusik naek, ciledug jalan ka Subang: raja purun kuring daek, asal kahayang kasorang. Kahayang kaula lain dunya barana, inten berlian tapi hayang dipangmudikkeun kukuk anu dipalidkeun di muara Cilutung sareng Cideres ku kasakten raja andika. Sing saha anu bisa nyubadanan kana kahayang kaula, eta pisalakieun kaula. Tong boro kasebutna raja, sanajan anjing budug ti jarian ceuk paribasanan kaula suka lilaahi taala.”
Sabada ki Patih ngadangu pamundutna Embah Gabug, lajeng anjeunna sabalad-balad mulih, laporan ka nu jadi rajana. Barang Subangkala nampi laporan ti patihna, henteu ngengkekeun deui, harita keneh mangkat seja nyumponan saembara anu dipenta ku Embah Gabug di Panyaweuyan.
Sasumpingna Raja Subangkala ka Panyaweuyan, lajeng Embah Gabug bari disarengan rai-raina arangkat ka sisi walungan Cilutung dituturkeun ku Raja Subangkala. Barang sumping ka sisi walungan lajeng Embah Gabug ngalungkeun kukuk ka tengah cai nu nuju umpalan kalayan marentahkeun ka Raja Subangkala sangkan eta kukuk tiasa mudik deui ka pangadiwa raja. Tapi hanjakal, barang Raja Subangkala ngetrukkeun elmu panemuna, jampe pamakena, aji jaya kawijayaan, sadayana teu aya anu mampuh. Kukuk palid beuki hilir beuki jauh.
Antukna, eta elmu teu aya nu punjul; pangadiwasa teu aya nu mental, pangarti teu aya nu mahi. Ahirna, Raja Subangkala leuleus satulang sandi, ngarumpuyuk taya tangan pangawasa. Rarayna pias lir kapuk kaibunan. Bari era parada, raja boboleh rumasa katitih pangarti, kateter jajaten, kapupul bayu ku Ratu Ayu, Tapi raja aya pamenta sangkan eta kukuk sina mudik deui bari haying nyaho kana pangadiwasana Embah Gabug. Teu tata pasini deui, lajeng Embah Gabug ngebutkeun karembong jimatna anu katelah cinde wulung tilu kali. Dadak sakala sapada harita kukuk teh mudik deui tarik alah batan tatit, nyuruwuk maju ka girang sarta luncat kana cadas anu bangunna saperti meja. Eta tempat teh nelah nepi ka kiwari Cadas Meja anu ayana leresan kampung Prunggawul Desa Bonang Kacamatan Kadipaten Majalengka. Nya ti harita ayana asihan anu disebut si kukuk mudik nu sok diaramalkeun ku barudak ngora ngarah payu. Raja Subangkala indit tanpa pamit, mulang tanpa bebeja sabab ceuk pikirna: nu geulis jadi werejit, nu lenjang jadi baruang; matak era matak wirang.
Beja pabeja-beja, guyur unggal lembur. Ear di saba desa, jadi senen kalemekan salasa kacapangan yen Raja Subangkala ti nagri Subang eleh jajaten ku Embah Gabug.
Kacarioskeun aya salahsahiji raja tatangga. Barang ngadangu Raja Subangkala kasoran, anjeunna ngarasa genah panasaran, hayang ngajajal pangabisana; hayang nguji pangartina; nekad rek nyobaan milu saembara. Eta raja teh katelahna Raja Pasir Ipis atanapi sok disebut oge raja Bugang Geureung.
Embah Gabug ngajurungan raina pikeun mayunan raja Bugang Geureung, nyaeta Embah Setayu. Namung sanajan Embah Setayu anu padungdung makalangan di medan laga, tapi tetep nu tanggung jawab mah Embah Gabug, bisi ahir barangkali Embah Setayu bobor karahayuan kasoran di medan laga, Embah Gabug dipihukum ku raja Bugang Geureung.
Jalma-jalma ti suklakna ti siklukna, ti nanggerang lila beurang, ti nanggerok lila poek; ngaleut ngeungkeuy hayang nyaksian nu saembara. Lajeng bae Embah Setayu malidkeun kukuk sapertos rakana sarta miwarang raja Bugang Geureung pikeun ngamudikkeun deui eta kukuk.
Dasar kitu kuduna, keukeuh raja Pasir Ipis oge teu diijabah panejana ku Nu Maha Kawasa. Atuh ana ger teh surak ambal-ambalan. Kolot budak ayeuhayeuhan, teu dihiding moyok raja sadaekna, sangeunahna bari nyebut ngeplek jawer ngandar jangjang, kumeok eleh ku bikang. Kahayang di luhur langit, pangabisa di dasar sagara. Jauh-jauh panjang gagang estu beak ka tai ngorangorana.
Raja Bugang Geureung mulang bari asa nincak asa hanteu bakat ku era ku amba rahayat sakabeh. Dijejeleh, diweweleh, dipoyok taya wates wangenna. Mulang pinuh ku ambek jeung keuheul lantaran istri geulis teu kapimilik, mojang lenjang teu kabandang. Raja Pasir Ipis buntu lakuna, bugang lampahna; ka nu aya teu kauntun tipung, ka nu mencrang teu katambang beas; ka nu donto teu ngajodo. Sabada Raja pasir Ipis mulang, lajeng Embah Setayu ngebutkeun karembong jimat cinde wulung diangge ngemat kukuk anu duka parantos dugi ka mana. Ku tarik-tarikna pangemat, kukuk mulang deui ka tempat asalna. Barokahna tina dua kali saembara tug dugi ka kiwari di wewengkon eta tempat seueur istri nu gareulis. Mung sok hanjakal margi di antawisna sok aya istri nu geulis jadi werejit mun lenjang jadi baruang. Geulis teu ngaku pangwaris ti Gusti Nu Maha Suci margi ngan duit nu katingali dugi ka wani ngarumpak kana haram batal nu dilarang ku agama.
Teu sawatara lilana ti harita Embah Gabug jengkar ti Babakan seja nyepi diri ngisat salira hayang jadi wanoja nu bisa ngocorkeun barokah ka balarea. Inditna bari demit, luntana henteu gareuwah samalah rai-raina ge ngahaja henteu diwartosan. Atuh setayu, Naibah, sareng Naidah pohara leungiteunana, kawas anak hayam ditinggalkeun indungna. Ngulon-ngetan-ngaler-ngidul, socana carindul balas ceurik balilihan. Sakapeung reang maridangdam bari sumambat ka nu Maha Kawasa. Sawangan melang ka nu keur lumampah; lamunan bingung ka nu keur lumaku.
Dina hiji peuting dulur-dulur barempug seja lumaku niat incah rek bebela, rek nitik lari ka hiji pasir anu henteu pati jauh ti eta tempat. Rebun-rebun bari diharudum halimun, dikongkoyang mega bodas, tiluanana miang nuju ka hiji pasir nu katelah Gunung Hade. Kersaning Nu Maha Asih, sanajan hese beleke, nete jangkar ngembing akar, jog anjog ka hiji tempat anu rada datar sarta pinuh ku kakayon.
Reungit barangeong ngabageakeun ka nu anyar datang. Henteu samar, henteu pangling, ana breh katingali aya jalma ngagoler kawas mayit. Sihoreng simana horeng eta anu kapidara teu aya sanes iwal ti rakana anu jenengan Embah Gabug. Atuh teu antaparah deui gabrug dirontok, dirangkulan, diciuman bari samar polah; kumaha nya pipetaeun. Bari reang maridangdam tilu dulur aungkuungku ngagugulung nu kapiuhan. Dihin pinasti anyar pinanggih, ngong aya sora tan katingalan ti aweuhan kalanggengan anu kieu unggelna:
“Heh, Setayu, Naibah, katut Naidah! Geus, geura reureuh da moal cageur kitu bae. Jurig moal nyingkir ku nu ceurik, setan moal nyingkah ku nu midangdam. Kasusah hidep bakal musnah ku akal jeung tarekah. Pek anggursi lanceuk hidep geura ubaran. Tuh, dina tangkal aya buah ki laja anu arasak. Pek geura pesek, tuluy lewekkeun kana biwirna. Insya Allah bakal cageur sacara bihara-bihari.” Kersaning Gusti nu Maha Welas tur Maha Asih, Embah Gabug bray socana beunta, lajeng sasauran. Sorana haroshos, rawas-rawas kurang jelas: “Geuning adi-adi…. Ceuceu aya di dieu. Saha anu mere beja jeung bias nyageurkeun Ceuceu?”.
Atuh baralang ku rai-raina dicaritakeun satarabasna ti awal dugi ka ahir sakumaha anu kajadian pek teu aya nu kaliwat. Ku kitu ngong aya sora anu kadua kalina: “Bisi hidep harayang nyaho, ieu hidep anu katelah Haji Putih Jagariksa nu sumare di ieu Gunung Hade. Sarta isuk jaganing geto, hidep sarerea bakal tetep tumetep di ieu tempat sarta jadi tempat jarah jalma-jalma nu mareunang kasusah!” Atuh prak sarerea nalamprakkeun dampal leungunna neneda ka nu Maha Kawasa bari saur manuk ngarucapkeunana. Alhamdulillaah.
Sabada kajadian kitu, bral sarerea marulang. Hate lewang jeung longkewang ilang musnah kaganti ku rasa bungah anu taya papadana sabab bakal bisa ngariung mungpulung sacara bihara-bihari deui. Kasauran Embah Haji Jagariksa ngarupikeun wasilah sareng wasiat kangge Embah Gabug, Embah Setayu, Embah Naibah, sareng Embah Naidah.
Kacarioskeun dina dinten kemis wengi jumaah kaliwon, henteu dicarioskeun tanggal bulanna mah, Empat Gabug sareng rai-raina jararah ka tepat kajadian sawatara lilana katukang. Teu kacaturkeun di jalanna, Embah Gabug, Embah Setayu, Embah Naibah, sareng Embah Naidah parantos anjog ka tempat tilas aya sora tan katingalan. Teras opat sadulur nyieun lombang persis dina tilas Embah Gabug kapiuhan. Sanajan ngan ukur dikali ku rokrak anu diseukeutan bari jeung tanaga awewe, teu burung anggeus. Dasar lain awewe samanea, estu anu kasipuhan kupangaweruh, kapatri ku pangarti, kapulas ku pangabisa. Sabada lombang rengse, lajeng Embah Gabug masihan wartos ka rai-raina yen anjeunna bade asup kana eta lombang sarta meredih supaya dituruban ku rengge (regang awi haur) nu aya di sabudeureunana.
Panon poe lingsir ngulon tandaning maju kaburit. Atuh teu tata pasini deui Embah Gabug lebet ka lombang sarta dituruban ku rengge sakumaha pamundutna tea. Embah Setayu, Embah Naibah, sarta Embah Naidah lajeng mulih ngantunkeun rakana.
Kira-kira wanci isa, Embah Setayu, Embah Naibah, sareng Embah Naidah ngariung ngaraga meneng, ngemut-ngemut kana pamolah, kana kahoyong nu jadi rakana. Di sabudeureun wangunan, sasatoan nyaraksian kana guligahna nu aya di jero imah. Cihcir nyihcir lir nu dikir, caricangkas ngelak kawas nu mere bewara. Harita keneh Embah Setayu, Embah Naibah, sareng Embah Naidah manahna guligah panasaran, naon atuh nu bakal kajadian sanajan lain wayah lain mangsa, aranjeunna mangkat bakat kumelang ka nu dikantunkeun, najan leueur kundang iteuk, najan poek kundang damar.
Barang dugi ka hiji tepat, ti kaanggangan katingali aya cahaya merong murub mubyar gilang-gumilang nyaangan sabudeureun eta tempat. Saparantos disidik-sidik atra tur pertela yen eta cahaya nu merong kaluar tina rengge nu diangge rurub tea, namung Embah Gabug mah parantos teu aya, paanggap salalawasna.
Tempat cahaya nu merong dina rengge tilas Embah Gabug tilem, nelah tur dugi ka kiwari disebut Marongge, asal tina kecap merong sareng rengge sarta jadi tempat pangjarahan. Ti wangkid harita teu aya deui bejana, teu aya deui carita kumaha satuluyna eta putri opat sadulur. Mun sok kaparengan sadayana tilem teu kantos karagungan caroge.
Keterangan:
Informan mendapat cerita dari juru kunci makam keramat Marongge yang berada di Desa Marongge Kecamatan Tomo Sumedang. Ia mendapat cerita tersebut dari juru kunci yang bernama Narsim, seorang juru tulis Desa Marongge, tahun 1989, ketika informan bertugas sebagai penilik kebudayaan di Kecamatan Tomo. Cerita tersebut telah ia susun dan diterbitkan dalam bentuk buku saku yang disahkan oleh Departemen Diknas Kecamatan Tomo.
Cerita tersebut menyebar secara luas hingga ke luar Jawa Barat bahkan luar negeri seperti Malaysia. Hal ini terjadi karena buku yang dimaksud diperjualbelikan di lingkungan makam keramat tersebut. Menurut informan, makam keramat Marongge hingga saat ini terus dikunjungi orang-orang yang sedang menghadapi kesulitan, terutama pada malam Jumat Kliwon.
Orang-orang berdatangan ke makam tersebut dengan berbagai kepentingan. Yang paling banyak dari mereka yang datang adalah dari kalangan orang yang berkepentingan dalam cinta dan asmara. Informan menerangkan bahwa dari sekian kepandaian Embah Gabug dan Adik-adiknya, maka pellet Marongge dikenal secara lebih luas. Pekasihnya yang terkenal adalah Asihan si Kukuk Mudik dengan keampuhannya dalam memikat si pujaan hati.
--
--
Sumber: wacananusantara.org
Ilustrasi: bismahadi.deviantart.com
Ilustrasi: bismahadi.deviantart.com
No comments:
Post a Comment